Iskandar Muda, Antara Dikenang dan Dilupa
![]() |
Sultan Iskandar Muda |
Ini Aceh! Kita yang punya tanah, tempat pemandian keringat dan darah, dibangun bukan dengan sumpah serapah, janji yang diucap mudah, asal ikar di ujung lidah. Iskandar Muda bukan sultan penjual sumpah, walau pernah digelar negatif dalam lembar sejarah.
MASIH ingatkah Tuan, 418 tahun
silam, seorang bayi mungil mengawali matahari suatu pagi di pesisir
Serambi, kelak ia menjadi raja bijak bestari, dikenali sampai ke ujung
segala nagari, termahsyur baik budi, tersebut adil bestari, mengukir
beragam reputasi. Sejarahnya tak basah diterpa hujan, tak lekang di
sengat matahari, aromanya kuasa mewangi sepanjang malam hingga batang
hari, seterang bulan dan mata hari.
Masih ingatkah Tuan, perkara
raja diraja kuasa, yang muncul ke dunia pada 1593, Johan Perkasa Alam
awal mula namanya, setelah berkuasa ia digelar Sultan Iskandar Muda,
Masgul bansigom donya, ditakuti oleh musuhnya, disegani oleh rekannya,
dijunjung oleh kaumnya. Namun, itu semua di masa silam, masa orang-orang
paham antara benar dan kebenaran, antara yang dibenarkan dan
pembenaran, antara yang pantas dan dipantaskan jadi junjungan.
Sekarang? Berapa banyak
orang-orang yang mengaku mencintai dia, yang hidup dan lahir sepanjang
Aceh hingga Melaka, mengenang atau mengingat Iskandar Muda dalam
hatinya? Seberapa banyak orang yang mengaku lahir di Tanoh Pusaka,
menyimpan Iskandar Muda dalam jiwanya? Pantaskah Tuan-Puan, mengaku Aceh
bahkan lebih Aceh dari yang seharusnya pewaris tahta keturunan si raja?
Padahal, untuk menyebut namanya saja, lidah Tuan mulai alpa, untuk
membaca sejarahnya saja, mata seakan buta.
Masih tersimpankah pada ingatan
Tuan, 29 tahun ia jadi sultan, sejak 1607 sampai 1636. Sungguh, bukan
pakaian sutra yang ia idamkan, walau singgasana dipenuhi intan berlian.
Sungguh bukan pujian Tuan yang ia impikan, walaupun ia memang pantas
mendapat pujian. Namun, bukalah mata dan pikiran, agar tahu benar cara
dan beda antara pempimpin dan pimpinan. Sungguhlah beda saat ia jadi
sultan, dengan berjuta sosok pimpinan yang telah menggantikan. Sepanjang
sejarah zaman, mulai kerajaan bentuk pemerintahan hingga masuk republik
Aceh rupawan, takkan sanggup ada ganti dan tandingan, Iskandar Muda
yang adil lagi dermawan.
Masih ingatkah Tuan, cara ia
menghadapi lawan, tak kenal lelah, pun tak pernah menyerah. Sekali surut
bukan berarti kalah, luka parut demi tanah tumpah darah. Portugis,
Belanda, Inggris pun menyerah, Aceh pewaris Melaka dikenal berjazirah.
Namun, seberapakah orang-orang kini, kaum ibu dan kaum ayah, yang
menyimpan itu sejarah sebagai sebuah kenyataan ilmiah agar tak sampai
punah karena beragam polah pengarang luar yang menulis Aceh ke dalam
dongeng dengan merekayasa kisah.
Ini Aceh! Kita yang punya tanah,
tempat pemandian keringat dan darah, dibangun bukan dengan sumpah
serapah, janji yang diucap mudah, asal ikar di ujung lidah. Iskandar
Muda bukan sultan penjual sumpah, walau pernah digelar negatif dalam
lembar sejarah. Itulah bukti fitrah, ia sebagai khalifah yang bijak
bertutur lidah, pun pernah khilap dalam bertingkah. Namun, ia punya
kemauan untuk berubah sehingga lebih dikenal baiknya tinimbang yang
salah, sehingga patut jadi contoh pemimpin sepanjang langit dan bumi
belum terbelah. Janganlah berbangga pada pemimpin penjual sumpah, tapi
banggalah dengan sultan yang sudah jadi sejarah.
Mari kita bertanya, seberapa
banyak generasi pemula yang menulis sejarah kampungnya sehingga dapat
meneruskan kisah pada regenerasi berikutnya sebelum usia mereka dilahap
api pada ujung galah. Mari mengingat, berapa lembar buku yang sudah
ditulis oleh para muda regenerasi, tentang raja bijak bestari, kecuali
selalu berlindung pada ciptaan barat punya alibi. Seberapa banyak sudah
mereka yang mengaku profesor, doktor, cendikia, cerdik pandai, dan
akademisi, dengan gelar guru besar serta mengaku pakar, mengaku ahli?
Sudahkah dalam catatan tesis mereka atau disertasi termaktub nama sultan
yang sungguh layak dipuji? Sudahkah mereka mencatat gelar Iskandar Muda
di hati? Ah… mungkin pujian itu mesti, tapi bukan untuk orang kita yang
mengaku ahli dan peneliti, melainkan bagi Abdul Ghafar Snouck si
Teungku Putih. Kalaupun belakangan ada lembaran kisah tentang si raja
Iskandar Muda, itu dinukil oleh Dennys Lombard dan Antony Reid dari
Eropa. Di mana sejarawan kita? Kemana penulis kita?
Mungkinkah sejarah kampung ini
harus berterima kasih pada Soeharto dengan Orba yang ia miliki?
Barangkali buruk cara orang tua itu membalas budi, tapi sempat gelar
pahlawan pada Iskandar Muda ia beri. Lantas, bagaimana dengan Aceh punya
generasi? Ketakziman pada raja tidak lagi berperi, mulai luntur seiring
kering embun diterpa mentari, sejalan pergantian tahun dalam hitungan
hari-hari, sehingga gemilang masa silam perlahan dibantah dalam kelakar
dan senda gurau di ujung gigi, dengan hanya mengingat dan menyebut
bagian yang salah pada sultan punya diri. Jangankan menjadikannya
sejarah zaman atau mengingat tanggal kelahiran, tahun mangkat si sultan
saja sedikit sekali yang mengenangnya sebagai hari bakti, petanda
regenerasi mulai lupa pada sejarah budi.
Tahukah Tuan, hari ini, 27
Desember 2011, adalah bilangan 375 tahun air pemandian mesti dibilas,
hari mesti mengulang kembalinya ruh ke pengadilan arasy, dan harusnya
malam ini menjadi malam khaul budi itu dibalas. Siapa yang pernah
menghitung matahari dan bulan sejak mangkatnya sultan di 1636? Pernah
Tuan dan Puan mengingat sebuah keniscayaan dan kemestian bahwa ini malam
ada keharusan air sembilan, ada doa pada nisan, ada guntingan pada kain
kafan, ada ritual tanda duka mendalam? Oh… inilah duka itu, duka
sejarah pada usia zaman, tentang raja adil yang mulai dilupakan, tentang
hari bangkitnya perekonomian, tentang masa jayanya Johan Perkasa Alam,
yang kini hanya tingal kenangan.
Sungguh, ia diingat sekadar nostalgia kebanggaan, sembari dada dibusungkan, mengumbar rekayasa di lisan, tapi tak seorang pun mau dan kuasa mencengah sejarah yang diubah jadi dongeng oleh beberapa yang berbisa lidah.
Sungguh, ia diingat sekadar nostalgia kebanggaan, sembari dada dibusungkan, mengumbar rekayasa di lisan, tapi tak seorang pun mau dan kuasa mencengah sejarah yang diubah jadi dongeng oleh beberapa yang berbisa lidah.
Malam ini adalah malam sejarah
ingatan. Malam kemestian gemilang Iskandar Muda dibangkitkan. Sejarah
zaman harus diluruskan. Jangan biarkan diutak-atik oleh para lamit punya
kerjaan. Kita punya tanah bertuan, kitalah yang mencatatnya di lembar
zaman. Aceh ini punya kita, bukan milik mereka, yang mengaku sedang
berkuasa! Kitalah yang membentuk sejarah kita, sejarah adilnya para
raja. Bukan mereka, yang mengaku punya kuasa dan senang berkuasa!!
ABOUTME
Salam Sejahtera Bagi Kita Semua, Kami Mx Club Aceh Ialah Induk Atau Paguyuban Dari Club Mx Yang Berdiri Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yaitu (MX-CL,MX-CS,MX-CBA) Salam, "Bersatu Mx Untuk Sama,Bersama Mx Untuk Satu"
0 comments:
Post a Comment